Salam Sehat dan Harmonis

-----

makalah al islam tentang euthanasia menurut agama islam


MAKALAH AL-ISLAM
Tentang
EUTHANASI DENGAN FAKTOR PASIEN
MENURUT AGAMA ISLAM


Disusun Oleh :

EVA.AURIYANTI

2010.06661.062

PRODI D III KEBIDANAN SEMESTER III-B

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

2011


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii
BAB I     PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A.    Latar Belakang .................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah ............................................................................. 2
C.     Tujuan ............................................................................................... 2
1.      Tujuan Umum ............................................................................ 2
2.      Tujuan Khusus ........................................................................... 2

BAB II   LANDASAN TEORI................................................................................ 3
A.    Ayat-ayat al-Qur’an........................................................................... 3
B.     Hadist................................................................................................ 5
C.     Pendapat-pendapat ulama ................................................................. 7

BAB III TINJAUAN TEORI
A.    Pengertian............................................................................................
B.     Pandangan Tentang Euthanasia ...................................................
C.     Euthanasia Menurut Etika Kedokteran ........................................
D.    Beberapa aspek euthanasia.........................................................
E.     Hukum Euthanasia.....................................................................

BAB IV PEMBAHASAN .........................................................................................

BAB IV PENUTUP....................................................................................................          
A.    Kesimpulan.......................................................................................
B.     Saran.................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Dengan pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatka terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat dalam peradaban manusia, hal ini bertujuan untuk kemanfaatan kehidupan dan kepentingan umat manusia dengan segala konsekuensi terhadap kesehatan.
Salah satu kemajuan ilmu didalam peradaban manusia yaitu kemajuan ilmu kedokteran. Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan, pengurangan, penderitaan pasien, bahkan perhitungan saat kematian seorang pasien yang mengalami penyakit tertentu dapat dilakukan secara cepat, tetapi kemajuan di bidang ilmu kedokteran tidak mustahil akan mengundang permasalahan
Salah satu yang masalah penting yang terpengaruh kemajuan teknologi adalah praktek euthanasia. Euthanasia yang secara sederhana membantu seseorang untuk mati agar terbebas dari penderitaan yang sangat, dan juga praktek euthanasia menggunaakan peralatan kedokteran terhadap pasien yang pelik dan rumit, misalnya apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? apabila segala upaya yang dilakukan akan sia-sia atau bahkan dapat ditutduhkan suatu kebohongan, karena disamping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana yang banyak atau bahkan lebih berbahaya jika dibiarkan karena penyakit yang diderita adalah penyakit yang menular penyakit AIDS misalnya.yang menderita penyakit yang tidak dapat di sembuhkan, tindakan eutahasia ini dilakukan atas permintaan pasien itu senditiatau keluarganya.
Kontroversi menyangkut euthanasia tidak saja santer didiskusikan dikalangan dunia medis, tapi telah merambah kemana-mana. Di Amerika, Dr. Jack Kevorkian yang keluar masuk pengadilan akibat tekadnya untuk tidak saja membenarkan euthanasia, tapi bahkan melakukannya secara terbuka, menambah semaraknya kontroversi yang diliput secara luas oleh media massa.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya tidak memperbolehkan Euthanasia, demikian juga dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Di dalam Al-Quran Surat Al-Mulk ayat 2 diingatkan bahwa hidup dan mati ialah di tangan Tuhan yang Ia ciptakan untuk menguji iman, amalan dan ketaatan manusia terhadap Tuhan, Penciptanya.
Adapun bunyi dari Surat Al-Mulk ayat 2 adalah :




 Artinya : “Yang mejadikan mati dan hidup. Supaya Dia menguji kamu. Siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya dan Dia Maha Perkasa Lagi Maha Pengampun”.

B.     Rumusan Masalah
a.       Apakah yang dimaksud dengan Euthanasia ?
b.      Bagaimanakah hukum yang sebenarnya dari Euthanasia tersebut ?
c.       Bagaimana hubungannya Euthanasia dilihat dari faktor pasien ?
C.     Tujuan penulisan

ÿ  Tujuan umum
Mengajak dan mangarahkan mahasiswa untuk lebih mengetahui tentang euthanasia dari sudut pandang Islam dan hukumyang erat kaitannya dengan kesehatan sesuai profesi kita.
ÿ  Tujuan khusus
Melihat profesi kita dalam kesehatan, diharapkan nantinya tidak terjadi kesalahan dan kesalahpahaman.



BAB II
LANDASAN TEORI

A.    Ayat Al-qur’an

1.      Euthanasia aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
a.       Surat An-Nisa ayat 29 – 30 :
 




Artinya :     "Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkan mereka ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah".


b.      QS.al-Maidah, 5:32
. . .مَن قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا. . .
Artinya ”Siapa pun yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya
c.       Surat al-An’am ayat 151 :







Artinya    "Katakanlah "marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu, yaitu : janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak - anak kamu karena, takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka dan janganlah kamu mendekati perbuatan - permuatan yang keji. Baik yang nampak diantaranya, maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahaminya".
d.      An-Nisaa’ : 92
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا (۹۲) وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا (۹٣)
Artinya  “Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) ), dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh), kecuali ahli waris membebaskan denda tersebut. Jika yang terbunuh itu adalah kaum yang memusuhimu tetapi dia seorang mukmin, maka si pembunuh harus membebaskan seorang hamba yang beriman. Dan jika yang terbunuh adalah kaum kafir yang mempunyai perjanjian damai denganmu, maka si pembunuh hendaknya membayar diyat yang diserahkan kepada keluarga terbunuh serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Jika pembunuh tidak mampu, dia harus berpuasa dua bulan terus menerus, sebagai wujud taubat kepada Allah. Allah Maha Tahu lagi Maha Bijaksana (92). Dan siapa yang membunuh seorang mukmin dengan disengaja, balasannya adalah neraka jahanam, dia kekal disana, kutukan dan laknat Allah terkena pada dirinya, disiapkan baginya siksa yang sangat dahsyat (93).”

B.     Hadist

1.      Euthanasia Aktif
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

2.      Euthanasia Pasif

1.      Hadist Riwayat Ahmad dari Anas RA
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
2.      Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
3.      Hadist Riwayat at-Tirmidzi
Rasulullah saw. Kemudian bersabda, “Benar wahai hamba-hamba Allah, berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah tidak membuat suatu penyakit kecuali Dia membuat pula obatnya. (HR at-Tirmidzi).
Jadi, hadis riwayat Imam at-Tirmidzi di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadis itu tidak ada satu indikasi pun yang membuktikan bahwa tuntutan tersebut bersifat wajib. Qarînah yang ada dalam hadis-hadis lain juga menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib.
4.      Hadist Riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas ra
Diantaranya hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra., bahwa seorang perempuan yang berkulit hitam pernah datang kepada Nabi saw. Ia lalu berkata, "Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku -saat kambuh-. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi saw. lalu berkata, “Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.“. Perempuan itu berkata, “Baiklah aku akan bersabar.” Lalu dia berkata lagi, “Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh]. Karena itu, berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.“Nabi saw. kemudian berdoa untuknya. (HR Bukhari).

C.     Pendapat Ulama

1.      Euthanasia Aktif
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
2.      Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).
Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya?
Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).


















BAB III
TINJAUAN KASUS

A.    Pengertian

Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145).
Euthanasia adalah tindakan untuk mempercepat kematian seseorang yang sedang dalam keadaan kesakitan atau sedang menderita penyakit yang sangat hebat dan sulit disembuhkan bahkan menjelang kematian. Tindakan ini dilakukan atas dasar permintaan dari pasien atau dari keluarga ataupun dokter
Euthanasia yaitu sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup orang lain (pasien) untuk kepentingan pasien itu sendiri. Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian ke dalam tiga jenis, yaitu:
1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah.
2. Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar.
3. Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.
Menurut Philo (50-20 SM) euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceasarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita’(dikutip dari 5). Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter.


Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti, yaitu:
1.      Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir.
2.      Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberikan obat penenang.
3.      Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Jenis-Jenis Euthanasia Dari Cara Dilaksanakannya :
1. Dilihat dari cara dilaksanakannyaeuthanasia dapat dibedakan atas
a. Euthanasia pasif
di mana tenaga medis tidak lagi memberikan atau  melanjutkan bantuan medik.Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177).
b.      Euthanasia Aktif
Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
Euthanasia aktif  baik secara langsung atau tidak langsung, dimana doter dengan sengaja melakukan tindakan untuk mengakhiri hidup pasien.
2. Euthanasia ditinjau dari pemberian izin
a. Euthanasia tidak sukarela
b. Euthanasia sukarela
c. Euthanasia diluar kemauan pasien

B.     Pandangan Tentang Euthanasia

1. Yang menyetujui Euthanasia
       Bahwa euthanasia dilakukan dengan persetujuan untuk tujuan menghentikan penderitaan pasien.
2. Yang tidak menyetujui Euthanasia
       Euthanasia merupakan pembunuh yang terselubung

C.     Euthanasia Menurut Etika Kedokteran Dan Hukum Di Indonesia

1. Seorang Dokter harus menjaga dan melindungi hidup seseorang insan, ini berarti dokter tidak boleh :
a. Menggugurkan kandungan
b. Mengakhiri hidup seseorang meskipun ia tidak akan sembuh lagi.
2. Berdasarkan hukum di Indonesia euthanasia perbuatan yang melanggar hukum jika di lihat dari undang-undang pasal 338, 340 dan 359.


D.    Beberapa aspek euthanasia.

1.  Aspek Hukum.
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.
2. Aspek Hak Asasi.
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
3. Aspek Ilmu Pengetahuan.
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping  tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.
4. Aspek Agama
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.
E.     Hukum Euthanasia
1.      Menurut etika kedokteran
Dari sudut pandang etika kedokteran, euthanasia sebenarnya bertentangan dengan etika kedokteran. Etika yang berasal dari kata ethos (Yunani) mengandung arti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir atau ilmu tentang apa yang biasa dilakukan (Bertens, 2005). Masalah etika ini tertuang dalam sumpah Hippocrates, ditekankan pentingnya meringankan penderitaan, memperpanjang hidup, dan melindungi kehidupan. Sumpah Hippocrates yang terkenal tersebut antara lain berbunyi, “…saya tidak akan memberikan racun kepada siapa pun yang menghendakinya, juga tidak akan menasihati orang untuk mempergunakannya.”
Declaration of Geneva 1948 dan Declaration of Sydney 1968 menyebutkan bahwa, “Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan…. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.” Peraturan Pemerintah 1969 tentang lafal sumpah dokter Indonesia bunyinya juga serupa dengan Declaration of Geneva dan Declaration of Sydney. Pada Kode Etik Kedokteran Indonesia Bab II tentang kewajiban dokter terhadap pasien, tidak memperbolehkan mengakhiri penderitaan dan hidup orang sakit, yang menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi (euthanasia) (Veronica, 2005).
Di dalam Kode Etik Kedokteran yang di tetapkan Menteri Kesehatan Nomor 434/Men. Kes/ SK/X/1983 pada pasal 10 : “ Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani”. Kemudian penjelasan dari pasal ini dengan tegas disebutkan bahwa naluri yang terkuat pada setiap makhluk yang bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu merupakan tugas seorang dokter. Dokter harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani. Karena naluri terkuat dari manusia adalah mempertahankan hidupnya, dan ini termasuk salah satu tugas seorang dokter,
2.      Menurut Hukum di Indonesia ( KUHP)
Dari sudut pandang hukum menurut Achadiat (2002), Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memang tidak pernah mencantumkan secara eksplisit istilah euthanasia dalam pasal-pasalnya, namun bila dikaji lebih mendalam ternyata beberapa pasal mencakup pengertian itu.
Secara formal hukum yang berlaku di negara Indonesia memang tidak mengizinkan tindakan euthanasia oleh siapapun (termasuk para tenaga paramedis dan dokter), sebagaimana tercermin dalam pasal-pasal KUHP tersebut. Tersirat dari pasal 338 , yang telah jelas dilarang oleh KUHP adalah euthanasia aktif, dengan atau tanpa permintaan pasien ataupun keluarganya.
Menariknya, UU No. 23/1992 tentang kesehatan (yang dikenal sebagai UU Kesehatan) ternyata belum mengakomodasi soal euthanasia ini dalam pasal-pasalnya, sedangkan di lain pihak beberapa pasal KUHP tadi masih belum memberikan batasan yang tegas dalam hal euthanasia (Achadiat, 2002).
Aturan hukum mengenai masalah euthanasia ini sangat berbeda-beda di seluruh dunia dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya dan tersedianya perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, tindakan ini dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hokum ( Wibudi, 2008).
Di Indonesia, persoalan euthanasia masih belum mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis (Farid, 2008). Secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP (Titto,2006).
Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan :
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut dapat disimpulkan bahwa pembunuhan atas permintaan korban / pasien sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang karena dianggap sebagai tindak pidana.
Selain ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP (Tittto,2006).
Pasal 356(3) KUHP yang menyatakan:
“Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”.
Pasal ini menegaskan bahwa dalam hukum positif di Indonesia melarang tindakan euthanasia aktif .
Selajutnya, ketentuan dalam Bab XV KUHP  khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2) ditegaskan bahwa tindakan euthanasia pasif juga dilarang oleh hukum positif di Indonesia (Tittto,2006).
Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan:
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.
Dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan:
“Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”.




BAB IV
PEMBAHASAN

Banyak permasalahan yang berhubungan dengan praktek euthanasia, baik aspek etik, moral, hukum dan aspek agama, dalam arti mempercepat dan memperpendek hidup pasien, baik atas pengetahuan si pasien atau tanpa sepengetahuannya.
Secara normatif, memudahkan proses kematian secara aktif (euthanasia aktif) tidak dibenarkan oleh syara'. Sebab, berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara over dosis. Dengan demikian, dokter telah melakukan tindakan pembunuhan baik dengan penghentian pengobatan, pemberian racun yang keras, dengan penyengatan listrik ataupun dengan menggunakan senjata tajam. Semua tindakan tersebut dikategorikan dalam pembunuhan yang diharamkan, bahkan termasuk dosa besar. Perbuatan sejenis itu tetap dikategorikan dalam pembunuhan meskipun faktor yang mendorongnya adalah rasa kasihan kepada si sakit dan bermaksud meringankan penyakitnya atau rasa sakitnya.
Ayat Al-Qur'an dan Hadist di atas dengan menunjukkan bahwa bunuh diri dilarang keras dalam Islam dengan alasan apapun. Misalnya seorang penderita AIDS atau kanker tahap akhir yang sudah tidak ada harapan sembuh secara medis dan telah kehabisan harta untuk biaya pengobatannya. Islam tetap tidak memperbolehkan si penderita menghabisi nyawanya, baik dengan tangannya sendiri (bunuh diri atau dengan meminum racun atau mengantung diri dsb), maupun dengan bantuan orang lain sekalipun dokter, dengan cara memberi suntikan atau obat yang dapat mempercepat kematiannya (euthanasia positif, atau menghentikan segala pertolongan terhadapa si penderita termasuk pengobatannya (euthanasia negatif). Sebab penderita yang menghabisi nyawanya dengan tangannya sendiri / dengan bantuan orang lain itu berarti mendahului / melanggar kehendak dan wewenang Tuhan.
Dalam Islam hidup dan mati ada di tangan Tuhan dan merupakan karunia dan wewenang Tuhan sehingga Islam melarang orang melakukan pembunuhan, baik terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri (bunuh diri) dengan alasan apapun.
Dilihat dari segi hukum pidana bahwa seorang dokter dapat dikenakan tentang pasal - pasal yang berkaitan dengan pembunuhan berencana yaitu terhadap KUHP pasal 340 :
"Barang siapa dengan sengaja dan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord) dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun".

Karena dalam kasus ini seorang dokter bukanlah tangan atau kepanjangan tangan Tuhan yang mempu mematikan atau menghidupkar, seseorang manusia (pasien).
Bahwa dari segi hukum kesehatan pula juga tentang kasus di atas juga jelas tidak boleh atau dilarang karena :
ÿ  Etika profesi, ketika seorang dokter telah melakukan proses untuk mempercepat umur seseorang itu lahir dari keprofesionalitasan.
ÿ  Jika menurut UU No. 28 Tahun 1993 tentang Hukum Kesehatan dan dijelaskan pada Bab 10 Hukum Kesehatan tentang Pidana itu jelas Dokter yang melakukan proses untuk mempercepat hidup seseorang atau pasien akan dikenakan tindak pidana pula karena jelas - jelas melakukan pembunuhan berencana meskipun itu diminta oleh pihak pasien dan dalam hal ini dokter atau tenaga medis harus konsisten terhadap sumpah profesi dan etika profesi.












BAB V
PENUTUP
A.    KESIMPULAN

Euthanasia adalah tindakan untuk mempercepat kematian seseorang yang sedang dalam keadaan kesakitan atau sedang menderita penyakit yang sangat hebat dan sulit disembuhkan bahkan menjelang kematian. Tindakan ini dilakukan atas dasar permintaan dari pasien atau dari keluarga ataupun dokter
Dari uraian yang telah kami kemukakan di atas, maka dapat kami simpulkan sebagai berikut :
1.   Dilihat dari sudut pandang Islam Euthanasia tidak diperbolehkan karena bertentangan / melanggar kehendak dan wewenang Tuhan, seperti dalam Firman Allah Surat An-Nisa 29 - 30 dan Surat AI-An'am ayat 151.
2.   Dilihat dari sudut pandang hukum, Euthanasia tidak diperbolehkan karena menurut pidana bahwa seorang dokter dapat dikenakan tentang pasal pasal yang berhubungan dengan pembunuhan berencana yaitu terhadap KUHP pasal 340.
Euthanasia dengan faktor pasien ini masih tidak dapat dibenarkan secara moral. Yang dapat dilakukan adalah menghentikan semua alat artificial yang justru sering menghambat kematian alamiah.Menghentikan bantuan alamiah bagi si sakita dalah juga tindakan yang immoral. Alasan-alasan melakukan euthanasia tidak dapat dibenarkan,baik alasan penderitaan maupun alasan ekonomi, sebab manusia adalah makhluk mulia yang harusmampu menahan penderitaan dan lebih penting dari pada materi.

B.      SARAN

Kami sebagai penulis mengharapkan kepada pembaca terutama generasi muda sebagai penerus terutama pada bidang kesehatan agar tidak melakukan euthanasia sekalipun itu atas dasar permintaan pasien atau penderita.

Akhirnya dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah makalah ini dapat kami selesaikan walaupun masih belum sempurna, harapan penulis semoga makalah ini dapat menjadi masukan dan dapat dikembangkan lagi kepada saudara sebagai penilai makalah ini. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih dari semua pihak yang mendukung adanya pembuatan makalah ini. Dan semoga bermanfaat bagi kita semua.




























DAFTAR PUSTAKA

Hanafiah Jusuf. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta:EGC
Williams, John R. 2006. Medical Ethics Manual. Sagiran. 2006 (Alih Bahasa), Yogyakarta: Pusat Studi kedokteran Islam Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Zuhroni et al. 2003. Islam untuk Disiplin Ilmu Kesehatan dan Kedokteran 2 (Fiqh Kontemporer), Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Veronica, 2005. Penyalahgunaan Eutanasia Pasif. http://www.pikiran rakyat.com/cetak/2005/0205/27/hikmah/ utama02.htm.
http://www.euthanasia.com/
http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia
http://netsains.com/2007/11/euthanasia-dan-kematian-bermartabat-suatu-tinjauan-bioetika/

Previous
Next Post »

Translate