Salam Sehat dan Harmonis

-----

Kasus Aborsi



Kasus Aborsi Akibat Zina Dipicu Pornografi

BELUM pupus dari ingatan, ada kasus klinik aborsi yang digrebek aparat kepolisian pada 22 Januari 2009, yaitu sebuah klinik yang sudah beroperasi sejak 1987, terletak di Jl Warakas I No 17 RT 03/RW 01, Tanjung Priok, Jakarta Utara. (lihat tulisan berjudul Sembilan Belas Bencana Akibat Aborsi, February 1, 2009 10:08 pm di nahimunkar.com).
Klinik aborsi Warakas itu dikelola oleh pasangan suami isteri yang berprofesi sebagai dokter umum (suaminya) sedangkan sang isteri berprofesi sebagai bidan. Meski pelakunya dokter, tindakan aborsi di klinik tersebut tetap digolongkan sebagai kriminal, karena izin prakteknya untuk praktek dokter umum, dan dokter pelaku aborsi tidak punya kualifikasi dan lisensi yang sesuai.
Berbeda dengan kasus klinik aborsi Warakas yang dikelola pasangan dokter umum dan bidan, di Johar Baru Jakarta Pusat, klinik aborsi yang digrebek aparat kepolisian dikelola oleh bekas petugas cleaning service di RSCM (sumber lain menyebut, bekas petugas cleaning service klinik di Jalan Raden Saleh, Menteng, Jakarta Pusat, menurut Pos Kota) bernama Jainatun alias Atun (40 tahun). Meski demikian, Jainatun yang bekas tukang kebersihan ini mampu menjalin kemitraan dengan empat dokter profesional yang bekerja secara bergiliran dalam melakukan praktik aborsi di jalan Percetakan Negara II No. 10 dan 12 Jakarta.
Begitulah, demi uang, empat profesional di bidang kedokteran rela ‘dikelola’ oleh seorang perempuan mantan petugas kebersihan rumahsakit.
Sudah sejak sepuluh tahun lalu Jainatun mengoperasikan klinik aborsi ilegal, namun baru berhasil digrebek pada 26 Februari 2009, setelah Kapolsek Johar Baru (Jakarta Pusat) Komisaris Polisi Theresia Mastail menyamar sebagai calon pasien dengan nama samaran Siti Zuleha.
Sebenarnya, sejak tiga tahun lalu, masyarakat sekitar sudah mengendus keberadaan praktek aborsi ilegal pada klinik yang dikelola Jainatun ini. Menurut H. Toriq (mantan Pembina RW 02 RT 01 Johar Baru), ketika itu ada perempuan muda yang meninggal saat aborsi, dan keluarga korban melaporkan kematian anggota keluarganya ke Polsek Johar Baru untuk meminta pertanggung jawaban pengelola klinik. Sayangnya, laporan itu tidak ditindaklanjuti. Namun, keluarga korban terus berupaya, ketika Kapolsek Johar Baru dijabat oleh Kompol Theresia Mastail, mereka kembali melaporkan kasus tersebut.

Penyamaran Yang Berhasil
Nampaknya, naluri kewanitaan Kompol Theresia Mastail turut mendorong profesionalismenya sebagai Kapolsek. Untuk mengungkap kasus aborsi ilegal, tidak segan-segan Kompol Theresia turun tangan langsung dengan menyamar sebagai calon pasien. Karena praktik aborsi hanya berlangsung dari jam 05:00 hingga 09:00 wib saja, maka sepagi itu Kompol Theresia alias Siti Zuleha sudah berada di klinik tersebut.
Hari Kamis tanggal 26 Februari 2009 Kompol Theresia alias Siti Zuleha sudah tiba dan mendaftar di klinik tersebut. Sebagaimana layaknya pasien biasa, Kompol Theresia alias Siti Zuleha pun membayar uang pendaftaran sebesar Rp 100.000. Dari penyamarannya itulah Kompol Theresia alias Siti Zuleha dapat memastikan bahwa di tempat itu benar berlangsung praktik aborsi ilegal. Maka dia langsung memerintahkan anggotanya untuk menggerebek dan menangkap dokter, pemilik serta karyawan klinik.
Ternyata, menurut penjelasan Kompol Theresia, papan nama bertuliskan Dokter Abdullah yang dipasang di depan klinik berlantai empat itu hanyalah sebagai tameng. Karena, dokter Abdullah sudah sejak lama tidak berpraktik di situ, dan digantikan oleh dokter Agung yang mengaku baru setahun terlibat dalam praktik aborsi. Setiap menggugurkan kandungan, dokter Agung mengaku mendapat imbalan sebesar Rp 200 ribu per pasien. Selain itu, klinik dokter Abdullah, yang digunakan sebagai tempat aborsi ilegal ternyata memiliki izin pendirian sebagai akupuntur.
Dari tempat itu, aparat membawa sejumlah alat bukti seperti mesin penyedot janin, sterilizer, USG, dan alat-alat kebidanan. Juga, menetapkan sembilan tersangka, yaitu Agung, Junatun alias bidan Siska, dua orang tenaga administrasi, tiga pasien, satu orang asisten Jainatun, dan seorang penjaga pintu.
Menurut dugaan Kompol Theresia, klinik yang dikelola Jainatun ini memiliki jaringan dengan tempat aborsi yang berada di kawasan elit, Jalan Cimandiri, Menteng, Jakarta Pusat dan di kawasan Galaxy, Bekasi. Indikasinya, tempat aborsi di kedua lokasi ini memiliki kesamaan pola dengan tempat aborsi di Johar Baru.
Polisi juga memperkirakan Jainatun membuka praktek aborsi di klinik lain. Bahkan diperkirakan ia juga menerima panggilan aborsi di rumah pasien. Indikasinya, peralatan utnuk aborsi (vakum) miliknya sangat mudah untuk dipindahkan. Jainatun mengenakan biaya yang berbeda untuk melakukan aborsi di rumah.
Dari hasil pengembangan, polisi sempat menyambangi sebuah klinik tak berizin milik Cici di Jalan Keadilan, Taman Sari (Jakarta Barat). Ternyata, antara Cici dan Jainatun ada jalinan kerja sama. Maka polisi pun mengamankan Cici, juga menangkap dokter Hidayat S, yang praktek di klinik tersebut.

Sepuluh Tahun
Selama sepuluh tahun praktik klinik aborsi ilegal itu berlangsung aman, karena dalam menjalankan praktiknya mereka berkedok klinik kesehatan dokter Abdullah, padahal yang melakukan praktik bukanlah dokter yang bersangkutan. Selain itu, mereka menerapkan aturan ketat dan tidak sembarangan, misalnya menggunakan jasa perantara (calo).
Untuk menyempurnakan kerahasiaan praktik aborsi ilegalnya, mereka hanya melayani pasien yang akan melakukan aborsi pada pukul 05:00 hingga 09:00 wib saja. Setelah jam itu, klinik tersebut langsung berubah menjadi klinik kesehatan sebagaimana umumnya.
Menurut Kompol Theresia Mastail, klinik aborsi ilegal ini menerapkan sistem yang dijalankan secara rahasia, rapi, dan sangat terstruktur. Misalnya, pasien tidak langsung di bawa ke klinik tetapi terlebih dulu dibawa ke rumah Jainatun yang lokasinya berdekatan dengan klinik. Setelah suasana diangap kondusif, barulah pasien dibawa ke klinik untuk aborsi. Sebelum melakukan aborsi, pasien harus menandatangani perjanjian, yang isinya pihak klinik tidak akan menanggung akibat apapun jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Masyarakat sekitar nyaris tidak mengetahui keberadaan klinik tersebut sebagai pelaku aborsi ilegal, karena klinik itu memiliki pagar setinggi dua meter, sehingga tidak memungkinkan masyarakat untuk menengok ke dalam rumah. Apalagi, sebagian besar pagar ditutup fiber glass. Menurut dugaan polisi, dalam setahun klinik aborsi ilegal milik Jainatun ini rata-rata melakukan aborsi terhadap 1000 lebih pasien. Dengan pasien sebanyak itu, maka tidak heran bila Jainatun bisa menggaji sejumlah pegawai serta membeli rumah mewah, padahal suaminya pengangguran. Menurut taksiran, penghasilan Jainatun mencapai Rp 2 juta lebih setiap pekannya.
Menurut pengakuan Jainatun, setiap pasien dikenakan tarif antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta, tergantung usia kandungan. Dengan tarif ‘semurah’ itu, maka tak heran bila klinik tersebut kerap ramai dikunjungi pasien. Bahkan dalam waktu tertentu, kendaraan terlihat berjejal di pinggir rumah praktik tersebut. Pasiennya kebanyakan wanita-wanita muda dan cantik.
Dalam merekrut calon pasien, Jainatun antara lain menyebarkan kartu nama kepada target, atau kepada calo (perantara). Selain itu, salah satu sumber pasien klinik aborsi ilegalnya berasal dari jalan Raden Saleh. Selama ini, banyak isu beredar Jalan Raden Saleh merupakan tempat calo klinik aborsi bergerilya. Di jalan Raden Saleh sejak lama berdiri sebuah klinik kesehatan reproduksi milik FK UI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). Selama ini klinik Raden saleh dipahami sebagai klinik aborsi karena sering menerima wanita-wanita dari berbagai status sosial yang menginginkan aborsi karena mengalami kehamilan tidak dikehendaki atau karena akibat perzinaan.

Klinik Aborsi Ilegal Menjamur
Berdasarkan Undang-undang Kesehatan No. 23 tahun 1992, pelaku aborsi ilegal diancam hukuman 15 tahun penjara. Namun demikian, klinik aborsi ilegal menjamur bak cendawan di musim hujan, dan sudah menjadi salah satu geliat bisnis yang menguntungkan. Karena, jumlah wanita yang ingin menggugurkan kandungan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Menurut perkiraan Dr Boyke Dian Nugraha, angka aborsi di Indonesia berkisar antara 2,3 juta hingga 3 juta per tahunnya. Dari jumlah tersebut 50 persen di antaranya dilakukan oleh remaja. (http://hariansib.com/2008/04/13/remaja-seks-bebas-aborsi-meningkat/).
Praktik aborsi ilegal, ada yang dilakukan di berbagai klinik dan dikelola oleh dokter, namun ada juga yang dilaksanakan di rumah oleh seseorang yang mengaku sebagai bidan. Misalnya sebagaimana dilakukan oleh Erna Rumondang Manalu (40 tahun) yang beralamat di RT 09/06 Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Salah satu pasien Erna bernama Dini Kurniawati (saat itu berusia 24 tahun), pada April 2008 berusaha menggugurkan kandungannya yang telah berusia 3 bulan. Namun mengalami pendarahan, kemudian dilarikan ke RSI Pondok Kopi, sayang jiwanya tak tertolong. Belakangan diketahui, Erna bukan bidan, dia hanya pernah bekerja di sebuah klinik.
Di Surabaya, polisi setempat pernah menangkap dokter Edward Armando (saat itu berusia 62 tahun), untuk kasus aborsi ilegal. Dokter Edward beserta ke 5 orang pegawainya disergap petugas di rumahnya di jalan Dukuh Kupang Timur Gg 10 no 4 Surabaya, Selasa dini hari (27 Maret 2007). Pada saat dilakukan penggerebekan di rumah yang sekaligus menjadi tempat praktek aborsi, polisi juga berhasil mengamankan 4 orang pasien yang akan melakukan aborsi, yaitu Riwanti (18 tahun) berstatus pelajar, Rieke Maranis (29 tahun) seorang mahasiswi, Masruroh dan Rika ibu rumah tangga. Dalam satu hari klinik aborsi ilegal ini melayani 1 hingga 5 pasien, dengan biaya antara Rp 1 hingga Rp 1,5 juta tergantung usia kandungan.
Di Bandung, Klinik Mitra Sejahtera di Jalan Dalem Kaum 67, Bandung, digerebek polisi hari Rabu petang (20 Juni 2001). Seorang dokter umum (dr Rois Imron) yang bertugas di klinik tersebut, seorang manajer klinik, serta perawatnya diringkus polisi. Jumlah wanita yang digugurkan kandungannya oleh klinik tersebut sedikitnya 500 orang sejak tahun 1996.
Ketika ditanya, dokter Rois Imron mendapatkan keterampilan menggugurkan kandungan secara otodidak (belajar sendiri dari buku-buku). Ia juga mengakui, dalam praktik pengguguran kandungan ia tidak mendapatkan izin dari mana pun, kecuali perintah dari Nana, ketua yayasan yang merangkap manajer klinik tersebut. Sementara itu, Nana mengaku sudah memperkirakan suatu saat ia akan berhadapan dengan pihak berwajib karena perbuatannya membuka klinik aborsi ilegal. Nana juga mengaku, usahanya membuka klinik aborsi ilegal ini untuk membantu orang-orang miskin. Dari biaya aborsi yang dibayarkan pasien, sejumlah Rp 100.000 hingga Rp 150.000 disumbangkan untuk pelayanan sosial.
Nampaknya Nana tidak sekedar cari duit melalui usaha aborsi ilegal, namun di balik itu ia punya ‘niat baik’ yaitu menyisihkan sebagian penghasilan kliniknya untuk pelayanan sosial. Boleh jadi Nana termasuk yang sepaham dengan Hasyim Muzadi, yang membenarkan praktik Ponari asal niatnya bukan syirik. (lihat tulisan berjudul Kemusyrikan Terbentang Luas Dari Ponari Hingga Hasyim Muzadi, February 24, 2009 4:33 am).
Dokter Boyke Dian Nugraha menyebutkan, kecenderungan usia remaja melakukan aborsi harus diwaspadai sebagai gejala makin berkembangnya seks bebas di kalangan remaja. Melonjaknya kasus aborsi yang dipicu seks bebas di kalangan remaja, satu di antaranya akibat maraknya pornografi yang bisa diakses dengan mudah.
Mudahnya remaja mengakses media pornografi sangat beralasan. Sebab saat ini lebih dari 100 ribu situs porno yang bermaterikan pornografi anak di bawah usia 18 tahun beredar bebas di dunia maya. Selain itu di Indonesia tercatat sekitar 500 jenis video porno beredar, di mana 90% di antaranya dibuat dan dilakukan oleh remaja Indonesia dengan status pelajar atau mahasiswa.Video porno beredar antar kamera handphone.
Jadi, yang harus dilakukan pemerintah tidak hanya menggerebek klinik pelaku aborsi illegal, tetapi juga menjaga remaja dan pemuda kita dari serbuan pornografi. Kemampuan pemerintah  membendung pornografi, akan memberi dampak positif di dalam menekan perilaku seks bebas, untuk selanjutnya dapat menekan tingkat permintaan aborsi di kalangan remaja dan pemuda.
Pornografi dan madat (narkoba), merupakan dua hal penting dan strategis di dalam menghancurkan suatu bangsa. Di Indonesia, serbuan narkoba, pornografi dan seks bebas sudah sedemikian gencar, sehingga menuntut kesigapan pemerintah menanganinya dengan lebih serius dan komprehensif.

Komplotan pembunuh dibunuh semua
Para pelaku tindak kejahatan aborsi itu hakekatnya melakukan pembunuhan juga, karena janin-janin yang digugurkan itu kalau sudah berumur 120 hari –menurut hadits- maka sudah ditiupkan roh padanya. Dalam kasus ini telah berlangsung selama 10 tahun, entah berapa janin bernyawa yang telah mereka bunuh. Di samping  itu telah ada korban yang meninggal saat (akibat) diaborsi, kemudian keluarganya menuntut. Apakah mereka para pelaku tindak kejahatan dengan kasus-kasusnya itu tidak dapat digolongkan sebagai komplotan pembunuh?
Jika dapat digolongkan sebagai komplotan pembunuh, maka sudah ada ajaran yang nyata, di antaranya sebagai berikut:
Sekelompok orang dibunuh karena membunuh seseorang, dan organ tubuh mereka dipotong karena memotong organ tubuh seseorang, jika mereka terlibat langsung di dalam tindakan kejahatan tersebut, berdasarkan keterangan dalam Kitab Shahih Al-Bukhari:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - أَنَّ غُلاَمًا قُتِلَ غِيلَةً فَقَالَ عُمَرُ لَوِ اشْتَرَكَ فِيهَا أَهْلُ صَنْعَاءَ لَقَتَلْتُهُمْ . وَقَالَ مُغِيرَةُ بْنُ حَكِيمٍ عَنْ أَبِيهِ إِنَّ أَرْبَعَةً قَتَلُوا صَبِيًّا فَقَالَ عُمَرُ مِثْلَهُ
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa seorang anak dibunuh secara tipuan, maka Umar berkata: “Seandainya penduduk Shan’a berserikat di dalamnya pasti aku bunuh mereka.” Dan berkata Mughirah bin Hakim dari bapaknya: Sesungguhnya empat (orang) telah membunuh seorang bocah, maka Umar berkata sama seperti itu. (Al-Bukhari 6896).
Imam Malik meriwayatkan perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu:
“Jika seluruh penduduk Shan’a berkomplot untuk membunuhnya, maka aku akan membunuh mereka semuanya”. (HR Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ (1623) dan aslinya terdapat dalam Kitab Shahih Al-Bukhari (Kitab Ad-Diyat, bab Idza ashaba qoum min rajulin). Umar radhiyallahu ‘anhu  mengatakan hal itu setelah ia membunuh tujuh orang yang membunuh seorang dari penduduk Shan’a, menurut Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam kitabnya, Minhaajul Muslim dalam bab Qishash. (haji/tede)




kesimpulan                  :
nama bidan                  :
kasus yang dilakukan  :































Tersandung Kasus Aborsi, Klinik Bidan Lusi Disegel

Jum'at, 07 Agustus 2009 | 16:11 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta - Sebuah klinik di Jalan Radjiman Suryadiningrat RT 10 RW 6, Pengarengan, Cakung, Jakarta Timur, disegel polisi. Hal itu terkait kasus aborsi yang dijalankan oleh pemiliknya Bidan Lusi, 40 tahun.

Warga Kampung Rawa Badung, tempat klinik tersebut mengaku terkejut saat mengetahui klinik yang buka sejak Januari 2008 tersebut melakukan praktek ilegal. "Bu dokter (panggilan Lusi) orangnya baik," kata Iwan, 38 tahun, ketua RT setempat. Dia mengatakan warga yang berobat seringkali tidak dituntut biaya pengobatan. "Yang penting ngobatin dulu, bayaran belakangan," katanya.

Kemarin, Almida binti Zulkarnaen, 27 tahun, tewas dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Persahabatan. Petugas menduganya tewas dalam upaya menggugurkan kandungannya yang berusia 4 bulan. Lusi, yang ikut mengantarnya, dicokok polisi.

"Polisi sampai semalam periksa kliniknya," ujar Iwan. Sekarang, garis batas polisi terbentang di depan klinik Setia Abadi itu. Warga, yang mengaku kecolongan karena terjadi praktek ilegal di pemukiman mereka, meminta klinik tersebut di tutup selamanya. "Mau kami bongkar," kata Iwan.



keasimpulan                            :
nama bidan                              : Lusi  (40 th)
tempat                                     : di Jalan Radjiman Suryadiningrat RT 10 RW 6,                                                                    Pengarengan, Cakung, Jakarta Timur,
kasus yang dilakukan              : aborsi
hukuman yang didapat           : tempat paktiknya disegel oleh pihak kepolisian

 

 

 

 

Nama Rasimah Ahmad Diabadikan Jadi Puskesmas Perkotaan

PadangKini.com | Jumat, 05/06/2009, 19:37 WIB
BUKITTINGGI--Nama Rasimah Ahmad resmi dipakai Puskesmas Perkotaan di Bukittinggi. Penggunaan nama Rasimah Ahmad yang merupakan bidan senior di Bukittinggi dicanangkan Wali Kota Bukittinggi Djufri, kemarin.
Menurut Djufri, Rasimah telah cukup lama mengabdikan keahliannya kepada masyarakat Kota Bukittinggi. Setelah pensiun sebagai PNS tahun 1973, Rasimah tetap mengabdi menjadi bidan sampai meninggal dunia, sehingga telah banyak memperoleh penghargaan dari pemerintah maupun organisasi profesi dan kemasyarakatan.
Penggunaan nama puskesmas ini menjadi Puskesmas Rasimah Ahmad adalah merupakan usulan dari MH. Dt. Pandak (Ketua LKAAM) sewaktu peresmian penggunaan Gedung Puskesmas Perkotaan ini pada tanggal 28 Februari 2008.
"Puskesmas merupakan etalase pilot proyek pelayanan kesehatan yang bermutu agar
kesehatan masyarakat optimal untuk hidup sehat lahir dan bathin. Bukittinggi patut bersyukur dan berbangga hati telah memiliki Puskesmas Perkotaan yang merupakan aset kota untuk selalu memberikan pelayanan kesehatan terbaik," kata Djufri yang pada saat itu juga mencanangkan Jamkesda dan ditandai Penyerahan Kartu Jamkesda secara simbolik, di Puskesmas Perkotaan.

Berkaitan dengan Jamkesda, menurut Djufri merupakan solusi dari pemerintah untuk mengoptimalkan dana kesehatan bagi masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari semakin tingginya angka kemiskinan. Mulai tahun 2007, Pemerintah Provinsi Sumbar memberikan subsidi premi Provinsi Sumbar sebesar 50 persen dari premi Jamkesda dan 50 persen sisanya diharapkan kontribusi dari Pemerintah Kota/ Kabupaten.
"Untuk itulah Bukittinggi telah menganggarkan dana sebanyak Rp60 juta dengan sasaran seribu orang melalui dana APBD tahun 2009," kata Djufri.
Sementara, Kepala Dinas Kesehatan Bukittinggi dr. Hj. Fauziyah Elytha mengatakan, puskesmas perkotaan Rasimah Ahmad memiliki luas tanah 1.100 m2 dengan luas bangunan 1.024 m2.
Pada awal peresmiannya, Puskesmas ini baru memiliki 40 orang tenaga. Pada saat ini, jumlah tersebut meningkat menjadi 61 orang tenaga, terdiri dari 5 dokter umum, 2 dokter gigi, 21 bidan, 14 perawat, 3 perawat gigi, 1 tenaga gizi, 1 analis, 2 tenaga sanitasi, 2 tenaga rekap medis, 3 asisten apoteker, 1 Kepala TU, 2 staf administrasi, supir, jaga malam, petugas kebersihan dan tenaga honor masing-masing 1 tenaga.
Sementara pelayanan kesehatan yang tersedia di Pueskesmas Rasimah Ahmad ini adalah pelayanan rujukan 4 spesialis (interne, mata, mata dan kandungan) 8 kali setiap bulan bekerjasama dengan RSAM, klinik gawat darurat dan laboratorium.
Jumlah kunjungan pasien rawat jalan tahun 2008 adalah 35.452 kunjungan, terdiri dari peserta Askes 5.795 kunjungan, umum 19.818 kunjungan, warga miskin 2.966 kunjungan dan dari luar wilayah 6.873 kunjungan. (met)



































 Radar Madura

[ Senin, 03 November 2008 ]
Firmawati Rozana Amd Keb, Bidan Teladan Nasional 2008
Rintis Program Peduli Wanita, Deteksi Dini Penyakit Kanker Leher Rahim

Tugas seorang bidan di puskesmas bukanlah pekerjaan gampang. Tati, Firmawati tak hanya mampu menjalankan kewajibannya. Dia juga berhasil menorehkan tinta emas dalam hidupnya sebagai Bidan Teladan Nasional 2008. Bagaimana dia meraih prestasi itu?

A. ZAHRIR RIDLO, Sumenep

-------------------------------------------------

SEJAK menjadi pegawai negeri sipil (PNS), tak terbesit dalam benak Firmawati Rozana akan menjadi Bidan Teladan Nasional. Dia hanya berusaha menjalankan tanggung jawabnya dengan baik sebagai bidan di Kecamatan Ganding.

Rupanya, keikhlasan dan pengabdiannya yang tulus mengantarkan dirinya menjadi Bidan Teladan Nasional. Selain membawa harum nama Sumenep, dia pun kini menjadi teladan bagi teman sejawatnya. Dia pun bangga mendapatkan penghargaan dari Menkes RI Dr Fadilah Supari sebagai Tenaga Kesehatan Teladan Tingkat Nasional 2008

Meski ibu dua anak ini kelahiran Kabupaten Tulungagung, tapi dia mengaku senang mengabdikan hidupnya untuk masyarakat Sumenep. Sekitar 18 tahun dia bertugas sebagai bidan di kabupaten ujung timur Madura ini.

Awal bekerja pada 1990, dia menjadi bidan di kepulauan, tepatnya di Puskesmas Gayam. Pada 1994 dia dimutasi ke Puskesmas Ganding. Di kecamatan ini dia merintis program inovatif pelayanan kesehatan reproduksi dan puskesmas peduli wanita.

Masih tingginya angka kematian perempuan akibat penyakit kanker leher rahim, memotivasi semangatnya melayani kaumnya. Dia berharap angka kematian bisa terkurangi dengan mendeteksi dini penyakit kanker rahim yang diderita perempuan.

Dia pun berusaha melakukan pendekatan dengan kaum perempuan melalui organisasi perempuan, seperti Muslimat, Fatayat NU, dan organisasi kepemudaan di tempatnya bertugas. "Tanpa peran serta masyarakat, penyakit ini sulit disembuhkan," katanya didampingi Ketua Ikatan Bidan Indonesia Cabang Sumenep Rochani akhir pekan lalu.

Firmawati pun aktif sosialisasi tentang perlunya mendeteksi secara dini kanker leher rahim. Tapi, upaya pendekatan kepada masyarakat tak mudah. Awalnya, masyarakat keberatan untuk memeriksa dan mendeteksi secara dini penyakit itu. Alasannya, penyakit kanker leher rahim dinilai tak lazim oleh masyarakat. Namun, perlahan tapi pasti, berkat bantuan organisasi perempuan, masyarakat mulai sadar untuk memeriksakan kesehatannya.

Usaha keras Firmawati ternyata mendapat perhatian dari Dinas Kesehatan Sumenep. Dia kemudian lolos untuk dikirim mengikuti seleksi tenaga medis teladan tingkat Jatim, setelah menyisihkan sejumlah bidan lainnya di tingkat kabupaten.

Seleksi di Jatim cukup ketat. Firmawati sempat pesimistis bisa lolos pada saat presentasi uji kompetensi dan karya tulis ilmiah. "Yang ikut ada yang juga S2 (strata 2). Tapi alhamdulillah, saya bisa melewati masa sulit dengan baik," katanya bangga.

Firmawati pun berhak mewakili Jatim sebagai untuk tingkat nasional. Menurut dia, dalam pemilihan tenaga kesehatan teladan nasional, dia harus menjalani ujian tulis di Lawang, Malang. Selain itu, dia juga harus memresentasikan makalah. Ternyata, makalahnya mendapat apresiasi positif dari dewan juri. Sehingga, dia bisa melenggang ke Jakarta untuk mendapat penghargaan dari Presiden SBY dan Menkes. "Ini merupakan pengalaman yang tak bisa saya lupakan," katanya.

Sementara Ketua IBI Sumenep Rochani mengaku ikut bangga dengan prestasi yang telah diraih anggotanya tersebut. Dia menginginkan prestasi itu bisa memotivasi para bidan dan tenaga medis lainnya untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. (mat)

http://www.jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=38652

Previous
Next Post »

Translate